Menuju Swasembada: Tantangan dan Harapan di Balik Cetak Sawah dan Optimalisasi Lahan di Kalimantan Tengah

Menuju Swasembada: Tantangan dan Harapan di Balik Cetak Sawah dan Optimalisasi Lahan di Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah, 21 Juni 2025 – Siapa sangka, lahan rawa yang selama ini dianggap tak berguna ternyata punya potensi besar untuk jadi sumber pangan? Pemerintah kini tengah serius menggarap lahan-lahan suboptimal ini agar bisa mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satu program andalannya adalah Optimasi Lahan (Oplah) dan Cetak Sawah, yang kini mulai digencarkan di Kalimantan Tengah.

Targetnya pun tidak main-main. Pemerintah ingin mencetak sawah baru seluas lebih dari 85.740 hektare dan oplah di lahan rawa seluas 8.489 hektare. Program ini dijalankan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, Serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi untuk Mendukung Swasembada Pangan. Program oplah dan cetak sawah  melibatkan banyak lembaga termasuk instansi teknis terkait. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian juga memberikan perhatian dengan melakukan kajian tentang potensi lahan rawa menjadi sumber produksi pangan.

Hasil kunjungan lapangan tim PSEKP di berbagai lokasi di Kalimantan Tengah, ditemukan bahwa meskipun potensi lahan rawa cukup besar, namun sejumlah tantangan masih dihadapi.  Beberapa tantangan tersebut diantaranya status lahan yang belum jelas (belum clean and clear), akses jalan yang sulit, dan saluran irigasi yang belum memadai. Meskipun demikian, hasil pembangunannya mulai terlihat. Saat ini, sudah lebih dari 51 ribu hektare sawah berhasil dikerjakan dari kontrak pekerjaan seluas hampir 60 ribu hektare.

Faktor penting lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah manusianya, para petani yang menjadi pelaku utama dalam mengelola lahan rawa. Salah satu kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa adalah pengalaman dan komitmen petani untuk mengelola secara berkelanjutan. Menurut para ahli, pengembangan padi di lahan rawa memerlukan waktu 5 hingga 10 tahun untuk mencapai produktivitas optimal. Kunci utama keberhasilan adalah status lahan yang jelas, SDM tersedia, alsintan sesuai, dan tata kelola air yang baik.

Contohnya bisa dilihat di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau. Di sana, para petani berhasil menerapkan Indeks Pertanaman (IP) 200, artinya petani berhasil menanam padi dua kali setahun dan saat ini sedang bersiap untuk menuju IP300. Salah satu petani setempat menyatakan “butuh waktu hingga 30 tahun agar lahan rawa dapat memberikan hasil optimal, tidak bisa instan”. Tapi mereka tidak menyerah dan kini kerja keras itu mulai berbuah manis.

Bukti lainnya? Produksi padi di Pulang Pisau meningkat drastis—dari 83 ribu ton pada 2023 menjadi 100 ribu ton di tahun 2024. Ini tentu kabar baik, apalagi di tengah tantangan pangan global. Untuk mendukung keberlanjutan program ini, pemerintah daerah kini didorong untuk mempercepat revisi tata ruang wilayah, meningkatkan koordinasi lintas sektor, dan fokus pada pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi, jalan usaha tani, dan penyediaan alsintan tepat guna. Mengubah rawa jadi sawah memang bukan pekerjaan sehari dua hari. Tapi jika dilakukan dengan komitmen dan gotong royong, ini bisa jadi investasi besar untuk masa depan pangan Indonesia. Semoga semangat petani dan dukungan semua pihak bisa terus mengalir, hingga lahan tidur di Kalimantan Tengah benar-benar jadi lumbung pangan bangsa.

Menuju Swasembada: Tantangan dan Harapan di Balik Cetak Sawah dan Optimalisasi Lahan di Kalimantan Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *