Jawa Timur – Tim analisis kebijakan dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) melakukan survei selama sepekan dalam rangka pelaksanaan kajian tata kelola perbenihan komoditas perkebunan di Provinsi Jawa Timur. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pengumpulan data lapangan guna mendukung penyusunan evidence-based policy di sektor perbenihan khususnya subsektor perkebunan.
Kunjungan dilakukan ke sejumlah institusi kunci dalam ekosistem perbenihan, baik dari unsur pemerintah daerah, BUMN, lembaga riset, maupun petani pengguna benih. Beberapa titik strategis yang menjadi lokasi observasi dan dialog meliputi UPT Pengembangan dan Produksi Benih Tanaman Perkebunan, PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Berdasarkan interaksi dan pengamatan langsung di lapangan, tim memperoleh data dan informasi terkait gambaran praktik produksi, sertifikasi, distribusi, serta tantangan implementasi sistem perbenihan.
Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat adopsi benih unggul bersertifikat oleh petani masih tergolong rendah. Pada komoditas tebu, praktik keprasan sebanyak enam hingga tujuh kali masih lazim dilakukan, ketimbang melakukan bongkar ratoon. Varietas Bululawang (BL) menjadi pilihan dominan petani karena dianggap mudah dirawat dan tahan kering. Namun demikian, keunggulan dan kemurnian varietas tersebut mulai dipertanyakan, mengingat sebagian besar benih yang digunakan berasal dari tanaman musim sebelumnya, baik dari kebun sendiri maupun petani lain, tanpa proses sertifikasi ulang. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap mutu genetik dan produktivitasnya.
Sementara itu, upaya pengembangan kebun sumber benih juga menghadapi tantangan serius, seperti kerusakan tanaman akibat hama dan terbatasnya anggaran pemulihan. Produksi benih oleh instansi pemerintah maupun BUMN berisiko tidak terserap jika tidak ditopang oleh program pendukung atau permintaan pasar yang memadai. Dari sisi teknis, sistem tanam baru pada komoditas tebu memerlukan jumlah benih yang lebih besar, bahkan dapat mencapai dua kali lipat dibandingkan sistem keprasan. Pada komoditas kakao, pembukaan kebun baru dengan benih unggul bersertifikat membutuhkan investasi awal yang cukup besar pada pengadaan benih, hal ini menjadi beban berat bagi petani kecil dengan keterbatasan modal.
Melalui dialog dengan petani, teridentifikasi bahwa keterbatasan akses, tingginya biaya awal, serta ketidakpastian manfaat ekonomi menjadi faktor utama rendahnya minat terhadap benih unggul bersertifikat. Di sisi lain, lembaga-lembaga riset seperti P3GI dan Puslitkoka telah menghasilkan berbagai inovasi varietas unggul, namun belum sepenuhnya terhubung dengan rantai adopsi teknologi di tingkat petani.
Temuan lapang ini akan menjadi bagian penting dari proses analisis dan formulasi rekomendasi kebijakan yang disusun oleh PSEKP. Harapannya, hasil kajian PSEKP ini dapat menjadi masukan para pemangku kepentingan dalam rangka menyusun kebijakan yang dapat memperkuat sistem perbenihan perkebunan nasional yang lebih responsif, adaptif, dan berkelanjutan dalam menjawab tantangan sektor perkebunan ke depan.