Terjebak Dilema Pestisida, Petani Cianjur Mulai Melirik Solusi Pestisida Berkelanjutan

Cianjur — Kabupaten Cianjur kembali menunjukkan komitmennya sebagai lumbung pangan di Jawa Barat dengan luas tanam padi yang mencapai 158.000 hektar pada tahun 2024. Dari angka tersebut, 152.000 hektar diperuntukkan bagi padi sawah, sementara 6.000 hektar lainnya digunakan untuk padi gogo. Cianjur juga menempati posisi keempat sebagai sentra produksi padi di Jawa Barat dan posisi ketiga sebagai pusat produksi sayuran terbesar di provinsi ini. Namun, di balik angka produksi itu, tersimpan kisah kompleks soal penggunaan pestisida di kalangan petani. Temuan ini didapatkan dalam kegiatan Analisis Kebijakan Identifikasi Kondisi Eksisting Penggunaan Pestisida pada Komoditas Padi dan Sayuran di Tingkat Petani yang diselenggarakan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP).

Mayoritas petani di Cianjur masih mengandalkan pestisida kimia. Alasannya sederhana, yaitu lebih cepat, lebih efektif, dan mudah didapat. Sedangkan pestisida organik, meskipun lebih ramah lingkungan, dianggap ribet dan hasilnya lambat. Dalam kondisi ancaman hama yang datang tiba-tiba, petani tidak punya banyak pilihan.

Penggunaan pestisida di tingkat petani masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan pemahaman teknis dan penerapan prinsip keamanan. Ditemukan masih beragamnya praktik penggunaan pestisida, seperti pencampuran tanpa memperhatikan bahan aktif, pengadukan tanpa alat bantu yang aman, serta penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang belum menjadi kebiasaan. Pengelolaan limbah pestisida, seperti botol bekas, juga belum seluruhnya dilakukan sesuai standar ramah lingkungan. Di sisi lain, koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengawasan distribusi dan penggunaan pestisida masih perlu ditingkatkan agar pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan secara efektif dan berkelanjutan.

Meskipun begitu, peredaran pestisida palsu di Cianjur terbilang rendah. Hanya satu laporan yang tercatat pada 2024, dan langsung ditindaklanjuti oleh dinas dan tim dari pusat. Namun, tantangan baru mulai muncul, yaitu penjualan pestisida secara online. Meski memberi kemudahan bagi petani, jalur ini juga berpotensi menjadi celah bagi produk ilegal yang tak mudah dideteksi.

Menariknya, tingkat penggunaan pestisida jauh lebih tinggi pada petani sayur dibanding petani padi, dengan dampak kesehatan yang lebih terasa, seperti pusing hingga sesak napas akibat paparan bahan kimia. Namun demikian, para petani mengaku akan tetap memilih pestisida yang ampuh, meski mahal, dibanding mengambil risiko gagal panen.

Sebagian besar petani menunjukkan ketertarikan terhadap penggunaan pestisida ramah lingkungan, terutama jika produk tersebut terbukti efektif dalam mengendalikan hama dan memiliki harga yang terjangkau. Meskipun pestisida kimia masih menjadi pilihan utama, kecenderungan ini mencerminkan adanya perubahan persepsi di tingkat petani terhadap alternatif yang lebih berkelanjutan. Respons ini juga mencerminkan dinamika di lapangan, di mana pilihan penggunaan pestisida sangat dipengaruhi oleh efektivitas dan aksesibilitas produk. (AMU, SSI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *