Bogor, 12 November 2024 – Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengadakan diskusi dengan stakeholder terkait dengan “Akselerasi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terhadap Peningkatan Efisiensi Biaya dan Daya Saing Kelapa Sawit Rakyat”. Kegiatan yang berlangsung di Auditorium Ismunadji, PSEKP, dihadiri oleh 128 peserta yang hadir secara daring dan 130 peserta hadir secara luring. Pembicara yang diundang berasal dari BPDPKS, Direktorat Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma (Ditjen Perkebunan), Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, GAPKI, ASPEKPIR, APKASINDO, dan Prof. Dr. Asbahun Anhar dari Universitas Syah Kuala, NAD.
Dalam pembukaan acara, Kepala PSEKP Dr. Sudi Mardianto menyampaikan output kegiatan diskusi ini sangat penting untuk merumuskan penyesuaian regulasi yang diperlukan untuk meningkatkan industri kepala sawit. Produk kelapa sawit tidak hanya CPO, namun juga produk hilir lainnya.`Program Biodiesel (B50 dan B60) menjadi strategi utama untuk menyerap produksi sawit domestik, mengantisipasi dinamika global seperti kebijkan deforestasi dan perubahan Paris Agreement.
Plt. Sekretaris Jenderal Kementan, Dr. Ali Jamil menekankan pentingnya perlindungan bagi petani sawit rakyat. “Sawit adalah komoditas utama penyumbang Devisa. Kita perlu mengamankan produktivitas dan keberlanjutan dengan mendukung program PSR secara menyeluruh,” ujarnya.
Usia tanaman sawit yang tua dan penggunaan benih bermutu yang masih rendah menjadi isu utama kegiatan Akselerasi PSR. Sebagai solusinya, kegiatan akselerasi PSR dirancang untuk meningkatkan produktivitas hingga 10 ton/ha/tahun dengan dukungan dana replanting hingga Rp60 juta/ha. Disamping itu, kegiatan ini menyoroti juga tentang perubahan regulasi dan peran BPDPKS menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang juga mengelola Kelapa dan Kakao.
Diskusi PSR menjadi langkah strategis untuk memperbarui perkebunan sawit rakyat yang menghadapi berbagai tantangan, diantaranya usia tanaman yang tua dan produktivitas rendah; legalitas lahan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan HGU; serta kelembagaan petani yang lemah, terutama petani sawit swadaya. Demikian pula dengan hambatan yang cukup banyak masih harus dihadapi PSR, seperti kompleksitas birokrasi dan regulasi lahan; kurangnya pemahaman petani terhadap program PSR, dan keterbatasan benih bersertifikat dan kendala distribusinya. Padahal pemerintah mentargetkan tahun 2025 peremajaan 500 ribu hektare sawit rakyat dengan fokus pada kolaborasi dan kemitraan.
Kegiatan ini diharapkan menghasilkan alternatif kebijakan, terkait dengan (1) penyelarasan aturan antar-kementerian dan lembaga untuk mempermudah pelaksanaan program; (2) penguatan kelembagaan petani dengan adanya pendampingan intensif bagi petani swadaya untuk mengakses program PSR; dan (3) kolaborasi multi-pihak, BUMN, asosiasi, dan pemerintah daerah yang didorong sebagai motor penggerak program PSR.(RCA)